Keluarga Sayidan, sebuah catatan perjalanan mengikuti ShaggyDog selama beberapa hari

oleh Aulia Mauludi *

Tidak banyak band yang bisa menjadi merchandise city. Sebuah proses yang lama untuk menjadi band sekelas The Beatles. Begitu mendarat di lapangan terbang Liverpool kita sudah disajikan nama John Lennon yang tertulis dengan sangat besar di luar gedung bandara. Strawberry Field menjadi tempat yang wajib dikunjungi bagi para peziarah kota itu. The Beatles telah berhasil mengangkat Liverpool menjadi kota yang wajib dikunjungi para pecinta musik di seluruh dunia.

Memang tidak ada nama Heru, Raymond, Richard, Yoyok, Lilik, dan Banditz di airport atau dimana pun di tempat umum. Tapi mungkin bagi para penjual lapen di daerah Sayidan mereka adalah pahlawan dari Jogjakarta. Semenjak lagu Sayidan milik Shaggydog menjadi terkenal, penjualan Lapen di Sayidan naik pesat. Demikian pula bagi masyarakat yang tinggal di daerah Sosrowijayan, Malioboro, tempat mereka selalu menghabiskan weekend, bernyanyi dari satu pub ke pub lain tanpa minta bayaran. Setiap jumat apabila tidak ada jadwal manggung, para doggies selalu menunggunya di jalan ini. Dan mereka menamakannya 'kampung internasional' . Hidup santai, nerimo, penuh canda tawa khas Jogja, sambil menikmati "minum" adalah "budaya" The Dawgz, jelas Heru-vokalis Shaggydog. Kehadiran mereka menjadi hiburan tersendiri bagi para doggies di Sosrowijayan.

Pada hari itu saya hendak meninggalkan kota Jogjakarta. Sudah dua hari saya menghabiskan berbotol-botol bir dingin sambil mengikuti Shaggydog konser di dua tempat yang berbeda. “Bro saya punya beberapa botol bir dan Red Labels. Aku ulang tahun bro..” SMS Heru masuk ke GSM saya. Tak lama SMS dari Memet manager Shaggydog dan Lilik pemain keyboardnya menyusul masuk. Saya pun kembali lagi ke pusat kota Jogja, persis di sebelah barat alun-alun. Di Doggie House, api mengepul membakar beberapa ikan laut dan kentang. Hari itu mereka “melolong” sambil bertelanjang dada. Dan saya pun berbicara banyak hal, semenjak mereka masih kuat berdiri tegak hingga terkapar lemas karena .. ah sudahlah, anda tahu sendiri :)

Hidup Shaggydog dimulai 12 tahun yang lalu ketika anak-anak Sayidan ini berniat untuk merubah sebuah judul film menjadi salah satu nama band ska papan atas Indonesia. Raymond dan Heru yang satu sekolah mengajak Richard yang merupakan kakak kelas mereka di SMA. Lilik dan Bandizt adalah original sayidan crew yang tidak sulit untuk diajak membangun sebuah Band bernama Shaggy Dog. Yoyok menjadi personel terakhir yang masuk, setelah keluar dari band death metal lawas Jogja, Brutal Corpse. Lapen dan Sayidan telah menggabungkan mimpi mereka untuk terus bermain musik. Dari music punk, kemudian ska, Heru, Richard, Lilik, Raymond, Bandizt, dan Yoyok bermetamoforsa hingga menjadi sebuah band crossover style papan atas Indonesia.

Lama-kelamaan nama Shaggydog mulai dikenal masyarakat Jogja. Mereka menamakan fans nya dengan nama Doggies. Ketika pertama kali mengeluarkan album dengan menggunakan label EMI, handphone Memet banyak menampung cacian dari para doggies. Aku sadar bahwa beberapa orang tidak rela kalo band ini ikut dinikmati banyak orang. Ekslusifitas!, ujar Heru. Tapi bagaimana pun mereka tetap saja membutuhkan dana untuk membayar tagihan telepon, cicilan motor, dll. Mereka terus menyebarkan musik mereka sambil mendapatkan doggies-doggies baru di luar kota Jogja. Cita-citanya kini ingin mendapatkan "sepundi berlian sekaligus kepuasan jiwa" dengan album baru mereka. Album baru dengan rasa komplit, seperti sepiring nasi gila bakal mereka suguhkan di tahun ini, mulai dari swing, ska, jazz, akustik, rock, pop, reggae ,dub , elektronik, termasak dengan pas di tangan-tangan yang handal. “Ibarat petani, kami harus terus mempertajam cangkul, kamu harus bertanggung jawab dan berdedikasi untuk sesuatu yang telah membesarkan kamu, work hard party hard.” tambah Heru.

Fans mereka kini berasal dari berbagai kalangan. Orang-orang jalanan, preman, anak punk, skinhead, anak reggae, dan bos-bos, lengkap sudah menjadi doggies-doggies setia. Banyak juga yang berasal dari luar Indonesia.



DOGGY HOUSE
Hari pertama saya datang ke Doggy House, Heru dan teman-temannya sedang berada di studio me-remix lagu milik Something Wrong, band hard core asal Jogja yang tidak lain adalah kru dari Shaggydog. Heru banyak menghabiskan waktu di studio. Ada beberapa proyek musik yang dikerjakannya, seperti recording dengan Dj Vanda (salah satu pioneer Dj di Jogja yang sempat menjuarai beberapa kontes di luar negeri), membuat ilustrasi musik untuk film, dan tentu saja membuat proyek Dubyouth bersama Memet manager Shaggydog.

Saya sempat terkejut melihat perubahan pada wajah Memet. Lho kenapa mukamu? “Ambyar (Bubar) hehehe…” ujar Memet. Kru yang lainnya kemudian menjelaskan sambil bercanda, “Kemarin ada tembok nyebrang secara tiba-tiba.” Minggu lalu Memet baru saja manggung bersama Dub Youth. “Karena terlalu total, akhirnya saya tertidur sambil menyetir vespa, hehehe.”
Mendadak ia mohon diri sebentar. “Anakku ngga ada yang jaga, istriku lagi ikut kursus tato,” jelas Memet. Karena merasa tidak enak, akhirnya Memet kembali lagi sambil membawa anaknya dan memamerkan kalau ia sudah menjadi ayah. Lucu melihat anaknya ingin ditato seperti ayah dan teman-temannya. Memet pun kesulitan menjelaskan proses tato kepada anaknya yang baru berusia 1,5 tahun. hehehe… Tidak lama Lilik pun ikut pulang dan membawa anaknya ke Doggy House. Yah, mereka kini bukan lagi anak SMA yang bisa mabuk kapan saja. Selalu saja ada urusan keluarga disela-sela kesibukan mereka.. that's life.

Sebelum berangkat ke pertunjukan mereka di Stadion Mandala Krida, mereka berdiskusi sambil menunggu Richard, gitaris mereka, yang tidak kunjung datang. Dalam hitungan menit keluarga Sayidan bertambah satu orang. Istri Richard, melahirkan anak perempuan. Dan show yang sempat rusuh itu dilakukan hanya dengan satu gitaris (minus Richard).

Usia 12 tahun telah merubah mereka untuk lebih berpikir dewasa. Mereka menyadari bahwa membicarakan perbedaan dapat berdampak buruk. Bandizt yang mempunyai seorang istri aktivis binatang (PETA), berkomitmen untuk hidup menjadi vegan. “Itulah kenapa saya bawa kentang dan jagung kemari,” ujar Heru yang berulang tahun. Dan gaya hidup Bandizt ini juga mempegaruhi beberapa orang di Doggy House yang hidup menjadi vegan. Bandizt pun menikmati kentang bakar diantara Heru, Memet, Lilik, Raymond, dan saya yang asik mengunyah cumi bakar. Tidak tampak wajah kebencian melihat kita memakan daging yang menjadi pantangannya. Apakah itu karena efek rasa gembira minum Smirnoff dari sebuah baskom dengan sedotan secara bersama-sama ya? hehehe...

Di rumah yang berukuran 15x20 meter itu tinggal 20 orang yang mencari makan melalui musik. Mereka bersama-sama tetap menjaga Shaggydog untuk terus bisa eksis dari satu panggung ke panggung lainnya. Mereka secara bergantian menemui tamu-tamu yang datang ke tempat itu, sambil sesekali bermain playstation atau jamming/ recording, bila tidak ada show.

Untuk membunuh kebosanan di Doggy House, sesekali Heru pergi ke pasar Klitikan, tempat orang-orang jual barang-barang bekas. Kadang hanya untuk liat-liat. “Sasaranku biasanya keyboard/instrument yang vintage.” ujarnya. Berbeda dengan Lilik yang mencari kegiatan diluar dengan mengajar keyboard bagi anak-anak kecil . Di luar itu, mereka membunuh rasa bosan dengan menonton event di Jogja. “Kita gak pernah boring di Jogja, karena selalu ada kegiatan atau event yang aneh bin ajaib.” Kebosanan bagi mereka adalah melihat band-band yang tampil di TV akhir-akhir ini. “Rambutnya sama, dandanannya sama, musiknya dan tema liriknya hampir sama semua. Di kamus bahasa Indonesia, kata selain 'selingkuh' itu banyak lho, Mas!” ujar Heru.


DOGGIES-DOGGIES LUAR
Sebagai band yang tidak memiliki penjualan album jutaan kopi, Shaggydog termasuk band yang beruntung dalam dunia musik Indonesia. Dengan harga panggung di atas harga band-band indie lainnya, Shaggydog bisa tampil 3-4 kali dalam sebulan di seluruh Indonesia. "Ya bersukurlah masih tetap bisa jalan walau lagunya sudah lama," ujar Lilik. Dan frekwensi ini terus bertahan selama bertahun-tahun. Massa Shaggydog merupakan tipe penggemar yang loyal. Dua show yang diadakan dalam perbedaan waktu sehari dan dengan jarak hanya beberapa kilometer saja, tetap dipenuhi oleh para doggies yang membawa bendera Shaggydog. Sulit untuk bertahan sekian lama dalam genre yang seperti mereka bawakan, di satu sisi,mereka beruntung karena tidak memiliki saingan di genrenya. Jaringan Shaggydog memang berasal dari teman-teman mereka sendiri. Basis massanya di Bali juga merupakan massa Superman Is Dead. Heru yang dibesarkan di Bali merupakan teman akrab Rizal Tanjung (surfer no.1 di Indonesia) dan Ari Astina (Jerinx). Dan di album terbaru Superman Is Dead, Heru ikut bernyanyi karena pertemanannya dengan Jerinx. Dan anak-anak Shaggydog sangat suka menghabiskan waktu liburannya di pulau itu.

Baginya Bali dan Jogja memiliki satu kesamaan, sama-sama bisa belajar banyak dari para pendatang. Kota pariwisata memang dimanfaatkan Heru untuk mengenal budaya alternatif dari tempat lain.. Heru banyak berkenalan dengan para turis (beberapa wanita, ehm..;) dan meminta referensi budaya dan musik dari negara lain. Karena cara ini pula, beberapa kali Shaggydog sempat ditawari manggung di luar negeri. Tahun 2004 dan 2006 mereka diundang dua kali untuk konser di Belanda. Dan ini menjadi pengalaman tersendiri bagi Heru dan Band nya. Pengalaman yang membuatnya tersadar bahwa Shaggydog ini belum ada apa-apanya dibanding band-band lain dari luar negeri. "Tetapi aku bangga, karena aku dan teman-temanku berhasil memperbudak mereka di lantai dansa, hahaha! Heru bercerita, "Di Belanda, ketika detik-detik menjelang naik panggung semakin dekat, aku sempat nervous.. karena semua penonton bule, tapi lalu aku bilang ke diriku, me and my mighty band gonna blast 'em all.. akhirnya ya udah, hajar blehhh.. semua orang puas, cd habis, begitu juga dengan merchandise Shaggydog, sampai-sampai beberapa orang disana rela inden."

Kesuksesan mereka di negeri Belanda berlanjut hingga show-show mereka di kota berikutnya. Banyak hal positif yang mereka dapat di sana, apresiasi orang luar terhadap musik sangat tinggi, profesionalisme, ketertiban dalam kebebasan, dan juga cara melinting dengan large paper ;) "Di tur yang kedua, 2006, aku sudah lebih terbiasa dengan publik Belanda, dan sudah tahu jalan ke coffeeshop terdekat. Sure, I'll be back!" ujar Heru.

Walau belum mendapatkan jutaan kopi, tetapi mereka tetap bersemangat bermain musik. Dan mengajak semua orang bergembira dengan caranya sendiri. Kalau boleh saya bilang mereka adalah "merchandise city" dari Jogja. "Bila kau datang dari selatan. Langsung saja menuju Gondomanan. Belok kiri sebelum perempatan, teman-teman riang menunggu, di SAYIDAN."

* ditulis oleh Aulia Mauludi,
Seorang penulis lepas, founder of Kahloos Room Surabaya and Klampist Community

Source: Shaggydog's page on facebook.

3 response(s):

Anonimmengatakan...

Sukses trus bwat Shaggy Dog...
kpn nie bkin album lg???
kpn" leh mampir kan ke Doggy House klo ke Jogja

Chaze mengatakan...

keep on rockin man...www.daveplasenta.blogspot.com

winner jhonshon mengatakan...

you dudes do good. great songs you have. kolaborasi dg SID bikin lebih dahsyat lagi..

Posting Komentar

share your idea, opinion, or related info with others here:

 
© Copyright Elz.™